Tidak dapat dipungkiri, sepakbola dan bulutangkis merupakan olah raga terfavorit di tanah air. Namun kalau berbicara tentang prestasi tingkat dunia, hanya bulutangkis yang bisa dibanggakan.
Kemana Prestasimu?
Bulan Agustus yang lalu, merupakan bulan terindah bagi prestasi olah raga Indonesia. Indonesia bisa merebut kembali medali emas yang pernah hilang di pesta olah raga dunia 4 tahun lalu. Melalui bulutangkis, pasangan ganda campuran terbaik Indonesia Liliyana Natsir / Tontowi Ahmad berhasil mendapatkan medali emas yang dinantikan oleh seluruh masyarkat Indonesia. Bangga, bahagia, tangis dan haru bercampur aduk setelah melihat bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya berkumandang di Rio de Jainero, tempat berlangsungnya Olimpiade 2016.
Banjir hadiah, bonus, dan apresiasi terhadap pasangan tersebut seakan tidak ada hentinya, sampai-sampai kita lupa harus kembali berbenah dan berlatih untuk prestasi selanjutnya. Terus terang setelah melihat prestasi bulutangkis di Olimpiade, membuat saya kuatir. Apakah para pemain, pelatih, pembina dan pengurus merasa cukup dengan keberhasilan emas Olimpiade? Dalam 2 kejuaraan Eropa baru-baru ini, Denmark dan Perancis Open seakan prestasi Indonesia sirna ditelan masa. Prestasi terbaik hanya sampai semifinal saja.
New Born
Penurunan prestasi atlet Indonesia, dibarengi dengan bermunculan atlet muda dari negara lain yang mengukir prestasi diantaranya datang dari negara gajah putih, Thailand. Siapa sangka pemain non unggulan Thailand bisa merebut gelar tunggal putra di Denmark. Belum lagi ganda putra mereka pun bisa merebut tempat kedua di 2 kejuaraan Eropa tersebut. Padahal boleh dikatakan atlet putra Thailand di olah raga bulutangkis tidak pernah secermelang tunggal putrinya yang sudah lebih dahulu pernah merajai bulutangkis putri dunia.
Belum lagi Tiongkok seakan tidak habis-habisnya menelurkan pemain mudanya yang sudah bisa mengukir prestasi tingkat dunia. Walaupun di dalam kejuaraan Denmark Open, pemainnya tidak merebut gelar juara; namun seminggu kemudian mereka seakan marah dan akhirnya bisa merebut 4 gelar juara di Perancis Open. Dan yang perlu kita acungkan jempol rata-rata pemain Tiongkok masih di usia emas yakni usia dibawah 25 tahun. Padahal atlet-atlet senior nya pun masih bisa diandalkan untuk berprestasi, sehingga bisa dikatakan program regenerasi mereka boleh dibilang sukses.
Berkaca Diri
Euforia kesenangan pasca Olimpiade haruslah diselesaikan. Waktunya untuk berbenah kembali, pasangan emas Olimpiade 2016 boleh dikatakan tidak dalam usia emas. Kita perlu mencari bibit-bibit baru untuk bisa mempertahankan tradisi emas Olimpiade dan gelar juara lainnya. Prestasi atlet muda kita masih belum stabil, dan masih kalah bersaing dengan prestasi atlet muda dari negara lain. Sebenarnya para pengurus sudah mengambil inisiatif yang cukup baik; salah satu ganda putra terbaik Indonesia pun sudah sempat dipisahkan sehingga tidak terjadi kejenuhan, pasangan Muhammad Ahsan / Hendra Setiawan dipasangkan dengan pemain yang lebih muda. Tapi mungkin pasangan ganda baru tersebut masih perlu dimatangkan kembali sehingga inisiatif pemisahan bisa membuahkan prestasi dalam kejuaraan dunia kedepannya.
Bertepatan dengan prestasi atlet bulutangkis saat ini, di Surabaya sedang dilaksanakan Musyawarah Nasional (MUNAS) Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) 2016 untuk menentukan calon pengurus PBSI pada jangka waktu 4 tahun ke depan. Kita semua berharap calon pengurus yang terpilih dapat benar-benar memperhatikan bagaimana melahirkan pemain-pemain yang bisa berprestasi guna mengharumkan nama bangsa dan negara. Jangan ada unsur keegoisan dalam kepengurusan PBSI karena hanya menyangkut kepentingan pribadi atau kelompok kecil saja, tapi unsur kecintaan akan Merah Putih lah yang harus di nomor satukan.